Hello everyone
Do you still remember Nabil? Yeah, Nabil, Our Research Assistant for Little Fireface Project. Nabil will tell something different than before. He will tell about the wildlife trade he is working on in the Market Survey project.
Indonesia is known as a mega biodiversity country. The term mega biodiversity is due to a country that meets the criteria for species with at least 5000 species in its biodiversity. According to the World Conservation Monitoring Center records, Indonesia has a rich biodiversity of 3,305 species of amphibians, birds, mammals, and reptiles. There are 31.1% of endemic taxa (native to Indonesia), and 9.9% have an endangered status (WWF Indonesia 2014).
So what does this have to do with the wildlife trade? It turns out that many of the traded animals are endemic animals and have a high threat status. No wonder we, who are engaged in animal conservation, are very concerned about the Wildlife Market. When the trade in wild animals is not taken care of, it impacts their threat to nature and changes their status to the worst, or could say Extinct in the wild. Even worse, if the level varies to Extinct, it is entirely extinct, and we can no longer see these animals anywhere else on this earth.
Many of the wild animals found in the market are endemic, therefore worrying about their status; for example, some species I have seen in the wildlife market are currently hard to find in nature. Especially in bird taxa (Aves) such as; Garrulax rufifrons or in Indonesian named Poksai Kuda (Rufous-fronted Laughingthrush) as Critically Endangered (CR) in IUCN status and the bird that is widely traded as a chirping bird to be included in competitions because it has a beautiful voice. The caused these animals are to be hunted by many buyers. Several species of the genus Garrulax are often needed, including Garrulax leucolophus or Poksai Hongkong (White‑Crested laughingthrush), Garrulax lugubris (Poksai Hitam/Black laughingthrush), Garrulax bicolor (Poksai Sumatra/Sumatran laughingthrush), and Garrulax chinensis ( Poksai Mandarin/Black-throated laughingthrush). Indeed, the species above are not yet in Critically Endangered (CR) status, but their Population Trend status is Decreasing. The biggest fear is because the declining population causes the list of these bird species to be included in Critically Endangered (CR) or even extinct in the wild due to continuous hunting. Presumably, the hunting of wild animals can be reduced in the future. The trade of wild animals in the market, if necessary, research can be carried out for cultivation without disturbing its existence in nature.
Apart from Aves, there are other types of wildlife trade in the market. This fact is unfortunate and not easy for us to conduct a market survey. Fathi Hanif (2015) tells about the Portrait of Trade and Hunting of Protected Animals. In his research mentions the number of smuggling of protected wildlife for trade, such as the failure of 24 individuals of Yellow-crested Cockatoo (Cacatua sulphurea) to be smuggled from the KM Ship. Tidar from Papua to Makassar was then sent to Surabaya to Jakarta. These animals between life and death are crammed in small bottles measuring 600 ml, which is very sad. There is also a case of failed distribution of elephant ivory in Riau. In February 2015, the Riau regional police arrested seven herds of hunters with evidence of two 2 meters elephant tusks and hunting equipment in the form of long-barreled firearms and three sharp objects in the form of machetes and axes. Furthermore, the case of Sumatran tiger skin trafficking in Jambi was found and arrested. An individual suspected of being a member of the Indonesian Shooting Association (PERBAKIN) in Jambi is currently being detained and investigated at the Jambi Regional Police for allegedly trading Sumatran tiger skins.
Moreover, what is the cause and effect of everything if we do not stop the illegal wildlife trade?
Fathi Hanif (2015) states that if there is damage to an ecosystem in an area, it is not always caused by environmental damage; this can also occur due to the breaking of the life cycle of animals in forest areas. The truth is that ecosystems rely on all species, and the loss of any species in a habitat can have devastating impacts. From the insect pollinators and the plants they pollinate, to the predators that control prey populations, a healthy ecosystem needs balance.
Illegal wildlife trade directly threatens ecosystem balance and that is why we at LFP are working to end the cruel practices of this industry
Halo semuanya,
Masih ingat Nabil? Yups, Nabil, Asisten Peneliti Little Fireface Project. Nabil akan menceritakan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Dia akan menceritakan tentang perdagangan satwa liar yang dia kerjakan dalam proyek Survei Pasar.
Indonesia dikenal sebagai negara mega biodiversitas. Istilah mega biodiversitas dikarenakan suatu negara yang memenuhi kriteria spesies dengan sedikitnya 5000 spesies dalam keanekaragaman hayatinya. Menurut catatan World Conservation Monitoring Center, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang kaya dengan 3.305 spesies amfibi, burung, mamalia, dan reptil. Terdapat 31,1% taksa endemik (asli Indonesia), dan 9,9% berstatus terancam punah (WWF Indonesia. 2014).
Lalu apa hubungannya dengan perdagangan satwa liar? Ternyata banyak dari hewan yang diperdagangkan adalah hewan endemik dan memiliki status ancaman yang tinggi. Tak heran kami yang bergerak di bidang konservasi satwa sangat memperhatikan Pasar Satwa. Ketika perdagangan satwa liar tidak diurus, maka akan berdampak pada ancaman terhadap alam dan mengubah statusnya menjadi yang terburuk, atau bisa dikatakan Punah di alam liar (extinct in the wild). Lebih buruk lagi, jika levelnya bervariasi hingga Punah, itu sepenuhnya punah, dan kita tidak dapat lagi melihat hewan-hewan ini di tempat lain di bumi ini.
Banyak satwa liar yang ditemukan di pasar adalah endemik, sehingga sttusnya sangat mengkhawatirkan; misalnya, beberapa spesies yang Saya (Nabil) lihat di pasar satwa liar saat ini sulit ditemukan di alam. Khususnya pada taksa burung (Aves) seperti; Garrulax rufifron atau dalam bahasa Indonesia disebut Poksai Kuda berstatus Critically Endangered (CR) dan burung yang banyak diperdagangkan sebagai burung kicau ini diikutsertakan dalam kompetisi karena memiliki suara yang indah. Hal ini menyebabkan hewan ini banyak diburu oleh pembeli. Beberapa spesies dari genus Garrulax yang sering dibutuhkan, antara lain Garrulax leucolophus (Poksai White-crested) atau Poksai Hongkong (White Crested tertawa), Garrulax lugubris (Poksai Hitam/Black Tertawa), Garrulax bicolor (Poksai Sumatra/Sumatera tertawa), dan Garrulax chinensis ( Poksai Mandarin / Sariawan Tenggorokan Hitam). Memang spesies-spesies di atas belum berstatus Critically Endangered (CR), namun status populasinya terus menurun. Ketakutan terbesar adalah karena populasi yang semakin menurun menyebabkan daftar jenis burung ini masuk dalam Critically Endangered (CR) atau bahkan punah di alam liar akibat perburuan yang terus menerus. Seharusnya perburuan satwa liar bisa dikurangi di masa depan, bila perlu dapat dilakukan penelitian untuk budidaya tanpa mengganggu keberadaannya di alam.
Selain Aves, ada jenis perdagangan satwa liar lainnya di pasar. Fakta ini sangat disayangkan dan tidak mudah bagi kami untuk melakukan survei pasar. Fathi Hanif (2015) menceritakan tentang Potret Perdagangan dan Perburuan Satwa yang Dilindungi. Dalam penelitiannya disebutkan banyaknya penyelundupan satwa dilindungi untuk diperdagangkan, seperti kegagalan 24 ekor Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) diselundupkan dari Kapal KM. Tidar dari Papua ke Makassar kemudian dikirim ke Surabaya dan Jakarta. Hewan-hewan ini antara hidup dan mati dijejalkan dalam botol kecil berukuran 600 ml, yang sangat menyedihkan. Ada juga kasus gagalnya distribusi gading gajah di Riau. Pada Februari 2015, Polda Riau menangkap tujuh kawanan pemburu dengan barang bukti dua gading gajah berukuran 2 meter dan peralatan berburu berupa senjata api laras panjang dan tiga benda tajam berupa parang dan kapak. Selanjutnya, kasus perdagangan kulit harimau sumatera di Jambi ditemukan dan ditangkap. Seorang yang diduga anggota Persatuan Tembak Indonesia (PERBAKIN) di Jambi saat ini ditahan dan diperiksa di Polda Jambi karena diduga memperdagangkan kulit harimau sumatera.
Apa akibat dari segala sesuatunya jika kita tidak menghentikan perdagangan ilegal satwa liar?
Fathi Hanif (2015) menyatakan bahwa jika terjadi kerusakan ekosistem di suatu kawasan, tidak selalu disebabkan oleh kerusakan lingkungan; hal ini juga dapat terjadi karena terputusnya siklus hidup satwa di kawasan hutan. Yang benar adalah bahwa ekosistem bergantung pada semua spesies, dan hilangnya spesies apa pun di habitat dapat memiliki dampak yang menghancurkan. Dari serangga penyerbuk dan tanaman yang diserbukinya, hingga predator yang mengendalikan populasi mangsa, ekosistem yang sehat membutuhkan keseimbangan.
Perdagangan satwa liar ilegal secara langsung mengancam keseimbangan ekosistem dan itulah sebabnya kami di LFP bekerja untuk mengakhiri praktik kejam industri ini.