MEMELUK KEHIDUPAN DI PUNDAK PAPANDAYAN
Barangkali terselip
diantara balok-balok kayu
atau tertindih lalu lalang
orang-orang yang berlalu
memeluk dingin di kakinya
Bersama menembus waktu
yang tercecer
Bukan di taman firdaus
atau celah langit yang retak
Ketika anjing dan ayam
adu merdu bernyanyi
serta siul burung yang bertaut dengan angin
dalam geram mesi kendaraan
yang kemudian lenyap
Maka . .
. . selesailah
pagi yang memeluk kehidupan di pundak Papandayan
MUKA API: PERJUANGAN-PERJUANGAN PARA PEJALAN MALAM
Takdir membawku pada petualangan
dalam keheningan Papandayan
rehatnya si pejalan malam
menunggu muka api bertautan
Merdu mendayu
rilih suara Rahmat
dan ponselnya begitu sayu
adu keras-kerasan dengan belalang
Dibawah,
riuh suar pengajian sesekali menyelak
Senandung pencarian
tentang perilaku dan gelora kembaranya
pada labu
kayu putih
dan kehingan malam
Mereka-mereka yag datang dan mengeras tubuhnya
seolah seperti ibu yang tegak hatinya
tak peduli berapa jauh
dan nestapa gelap
tak peduli digin mencekam
jalan menjulang
serta badai datang
Sempatkah, Madyantara, menikmatinya?
serta menyaksikan keindahannya
dan bahaya racun di ketiaknya
sampai jelas ke-anak cucunya
Semoga, ya!
BINTANG JATUH KETIKA AKU MERAYU
Seumpama bintang jatuh ke nanar matamu
kupilin bait dan rayu pilihan memuji pencipta-Mu
cipta yang sempurna dan perkasa
Merajang sukma sekujur tubuhku
Hitam menjaga kelopak matamu
tak bergincu dan menitahkan racun ketika kau mulai melumat
saat pertama bertemu di Rumahmu
Kau sodor aku
sederhana dan wibawa
gerak gerik yang mengeram
dan cerita-cerita masyarakat
serta impian-impian ketika berjumpa denganmu
Andai kau tau
maksud tersirat itu
Tabiat pemuda yang sedang merancu
Mahluk kecil, bolekah kupetik bintang jatuh di matamu?
Zain Nabil Haiqal, 2021